Probolinggo, Jawa Timur — Para petani tembakau di Kabupaten Probolinggo kembali harus menelan pil pahit. Harga jual tembakau di musim panen tahun ini mengalami penurunan drastis, bahkan di bawah angka yang dianggap layak menutup biaya produksi. Situasi ini membuat banyak petani kecewa dan resah, karena keuntungan yang diharapkan justru berubah menjadi potensi kerugian besar.
Sejumlah petani di Kecamatan Krejengan, Besuk, dan Paiton mengaku bahwa harga tembakau rajangan kering hanya dihargai Rp 15.000 hingga Rp 20.000 per kilogram, jauh lebih rendah dibanding tahun lalu yang bisa menyentuh angka Rp 35.000 hingga Rp 40.000 per kilogram.
“Harga sekarang jauh dari harapan. Padahal biaya produksi, mulai dari pupuk, tenaga kerja, hingga pengairan makin mahal. Kalau begini terus, bisa-bisa tahun depan kami berhenti menanam tembakau,” ujar Hasyim (48), petani tembakau asal Desa Ranon.
Apa Penyebab Turunnya Harga?
Penurunan harga tembakau ini tidak terjadi tanpa alasan. Beberapa faktor utama yang disebut-sebut menjadi penyebab antara lain:
1. Kualitas Panen Menurun
Curah hujan yang tidak menentu dan datang lebih awal dari perkiraan membuat kualitas tembakau di sejumlah lahan menjadi kurang optimal. Kadar air yang tinggi menyebabkan rajangan tembakau tidak kering sempurna, sehingga menurunkan grade atau mutu produk di mata para pengepul maupun pabrikan.
2. Overproduksi
Tingginya jumlah petani yang menanam tembakau secara serempak juga menyebabkan pasokan membanjiri pasar, sehingga hukum ekonomi berlaku: ketika pasokan melimpah dan permintaan stagnan, maka harga otomatis turun.
3. Seleksi Ketat dari Pabrikan
Beberapa perusahaan rokok besar yang biasa membeli tembakau dari wilayah Probolinggo kini menerapkan standar kualitas yang lebih ketat, hanya menerima grade tinggi dengan kadar air rendah dan aroma khas. Tembakau dengan mutu sedang hingga rendah sulit masuk pasar pabrikan dan hanya dihargai murah oleh tengkulak lokal.
4. Minimnya Peran Lembaga Penyangga Harga
Ketiadaan lembaga koperasi atau BUMD yang berfungsi sebagai penyangga harga membuat petani tidak memiliki posisi tawar. Mereka terpaksa menjual hasil panen ke pengepul dengan harga rendah karena tidak punya alternatif distribusi lain.

Baca juga: Pintu Pasar Baru Kota Probolinggo Telan Biaya Rp 450 Juta, Dibangun di Sisi Utara, Bongkar Toko
Pemerintah Diminta Turun Tangan
Melihat kondisi ini, para petani berharap ada intervensi dari pemerintah daerah dan pusat untuk mengatasi jatuhnya harga tembakau.
“Kami berharap ada perhatian serius dari Pemkab dan dinas terkait. Kalau tembakau dibiarkan terus begini, lama-lama lahan kering di Probolinggo tak lagi produktif karena petani frustasi,” ujar Wahyuni, Ketua Kelompok Tani “Maju Jaya” di Kecamatan Besuk.
Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo menyatakan bahwa pihaknya sedang menyusun rencana jangka pendek dan panjang untuk menyikapi persoalan harga ini, termasuk menjajaki kemitraan dengan industri rokok, pelatihan pengolahan pascapanen, serta bantuan alat pengering modern.
“Selama petani hanya menjual bahan mentah, mereka akan selalu bergantung pada harga pasar yang fluktuatif. Hilirisasi produk bisa memberi nilai tambah dan kemandirian,” ujar Dimas.
Kesimpulan:
Harga tembakau di Probolinggo merosot bukan karena satu sebab tunggal, melainkan kombinasi dari faktor cuaca, overproduksi, seleksi pasar, hingga lemahnya sistem perlindungan harga bagi petani.