Harga Cabai Anjlok di Probolinggo, Sayangnya Minat Beli Justru Ikut ‘Merosot’
Probolinggo– Sebuah fenomena paradoks tengah terjadi di sejumlah pasar tradisional Kota Probolinggo. Di satu sisi, harga cabai rawit mengalami penurunan yang sangat signifikan, bahkan bisa disebut anjlok. Namun, di sisi lain, bukannya diserbu pembeli, pasar justru diliputi suasana sepi. Daya beli masyarakat tampak lesu, membuat para pedagang hanya bisa memandangi tumpukan cabai merah keriting yang tak kunjung laku.

Baca Juga : Kepanikan Massal Di Kafe Asyiq, Pengunjung Jadi Korban Aksi Penyerbuan Massa
Pantauan langsung di Pasar Baru, yang biasanya ramai dengan tawar-menawar, kini menggambarkan situasi yang suram. Meja-meja para pedagang dipenuhi oleh cabai rawit segar yang berwarna merah menyala, menandakan stok yang melimpah ruah. Akan tetapi, antrian pembeli tidak terlihat. Aktivitas jual beli berjalan sangat lambat, bak air keruh yang mengalir pelan.
Harga Terjun Bebas, Pembeli Hilang Entah Kemana
Vivian Rubianti, salah satu pedagang yang telah puluhan tahun berjualan di Pasar Baru, mengaku mengelus dada. Dengan suara lirih, ia menceritakan bagaimana harga cabai terus merosot dalam sebulan terakhir.
“Kondisi seperti ini sudah berlangsung lebih dari sebulan. Sebelumnya, harga cabai rawit bisa mencapai Rp 35.000 per kilogram. Sekarang, saya jual hanya Rp 15.000 saja. Itu pun dengan modal kulak dari petani seharga Rp 10.000 per kilo,” ujar Vivian sambil menata kembali cabai-cabai di lapaknya.
Yang membuatnya semakin sedih, penurunan harga yang drastis ini tidak diiringi dengan peningkatan permintaan. “Justru sebaliknya, pembeli malah semakin menurun. Seolah-olah orang sudah tidak butuh cabai lagi, padahal harganya sangat terjangkau,” tambahnya, heran.
Kesaksian serupa datang dari Su’eb, pedagang lainnya. Ia menjelaskan bahwa akar masalahnya adalah gelombang panen raya yang terjadi serentak di berbagai sentra penghasil cabai. Pasokan yang membanjiri pasar secara otomatis mendorong harga untuk turun.
“Harga sekarang ini berkisar antara Rp 14.000 sampai Rp 15.000 per kilo. Penurunannya sangat drastis, ya, karena memang lagi musim panen raya. Stok dari petani banyak sekali, sementara pembeli di pasar justru sepi. Pada akhirnya, harga cabai itu benar-benar tergantung pada situasi pasar dan musim tanam,” jelas Su’eb dengan pandangan yang sudah paham akan lika-liku perdagangan.
Antara Berkah dan Musibah bagi Pedagang
Situasi ini menciptakan dilema. Bagi konsumen, harga murah seharusnya menjadi kabar gembira. Namun, di balik itu, tersimpan kegelisahan para pedagang kecil yang pendapatannya menyusut. Margin keuntungan yang tipis, ditambah volume penjualan yang rendah, membuat mereka kesulitan memutar modal.
“Biasanya dalam sehari bisa jual puluhan kilo, sekarang separuhnya saja susah. Kami hanya bisa pasrah dan berharap kondisi ini cepat berlalu,” keluh seorang pedagang lain yang enggan disebutkan namanya.
Harapan untuk Intervensi Pemerintah
Menyikapi ketidakstabilan ini, para pedagang di Pasar Baru Probolinggo menyampaikan harapannya kepada pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Mereka mendorong agar ada langkah-langkah nyata untuk menciptakan stabilitas harga komoditas pangan, khususnya cabai.
Langkah-langkah yang diharapkan tidak hanya bersifat reaktif, seperti operasi pasar, tetapi juga preventif. Mulai dari memberikan informasi yang akurat tentang pola tanam kepada petani, memperkuat sistem logistik untuk distribusi yang lebih merata, hingga membentuk semacam program stabilisasi harga yang dapat melindungi baik petani maupun pedagang ketika terjadi fluktuasi ekstrem.
Dengan adanya intervensi yang tepat, mereka berharap kejadian ‘harga anjlok, daya beli lesu’ tidak terus berulang. Pasar tradisional yang merupakan nadi perekonomian rakyat kecil ini diharapkan dapat kembali bergeliat, dengan transaksi jual beli yang adil dan menguntungkan semua pihak.





